Banda Aceh – Dua dosen Universitas Serambi Mekkah (USM) berkolaborasi dengan dosen Antropologi Universitas Malikussaleh (Unimal) bersama tujuh mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) melakukan penggarapan film “Tameung Hate” sebagai salah satu produk hibah pengabdian kemitraan masyarakat (PKM) pendanaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (DRTPM) tahun anggaran 2024.
Film ini mengangkat isu perundungan yang terjadi di level sekolah. Aktornya melibatkan dosen, mahasiswa, siswa serta guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) Limpok, Sekolah Alam Islamic Orbit School dan SD Negeri Lampeuneurut Aceh Besar.
Keterlibatan sekolah untuk mengedukasi dan membangun empati warga sekolah terhadap kasus perundungan yang semakin meningkat di Aceh dan tingkat nasional.
Penggarapan film dipimpin oleh Ketua Fadhillah, M.Pd, Putry Julia, M.Pd dan Mujiburrahman, M.Hum yang merupakan dosen pengabdian masyarakat lintas bidang ilmu, manajemen pendidikan, seni dan sejarah dalam kajian antropologi
Fadhillah mengatakan tim mahasiswa PGSD USM yang terlibat dalam penggarapan film ini mendapatkan pengalaman pengembangan diri di luar kampus, melalui kegiatan pembelajaran project based learning “bermain film pendek”. Sebelumnya, mahasiswa mengamati dan berdialog langsung dengan masyarakat untuk memahami pendekatan kearifan lokal Aceh yang dapat dijadikan penetrasi dalam menangani kasus perundungan.
“Film tameung hate sudah dilakukan uji publik di depan pakar, beberapa sekolah, Dinas Pendidikan Aceh Besar serta pengamat sosial, orang tua, termasuk dihadapan dosen dan perwakilan mahasiswa,” jelasnya saat seminar nasional; Pengasuhan Bernasis Fitrah, di Puslatbang Khan, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, Sabtu, 21 September 2024.
Hasil uji publik, ujar Fadhillah, mendapatkan respon positif, masyarakat menilai ada edukasi yang ditampilkan dalam film tersebut. Siswa sekolah dasar dibangun empati tentang dampak perundungan terhadap korban dan pelaku. Sekolah diberikan penguatan strategi pengelolaan dalam menangani kasus perundungan.
Selain itu, lanjut Fadhillah, ditampilkan juga langkah guru melakukan pendekatan dan membangun komunikasi efektif dengan korban dan pelaku perundungan. Nilai-nilai budaya Aceh yang ditampilkan, relegiusitas dan pendekatan pada Allah, peusijuk, peran perangkat gampong dan tokoh agama, tradisi berziarah ke makam orang tua dan hormat pada ibu
“Setiap dialog dirancang untuk memperlihatkan kekuatan dukungan komunitas dan nilai-nilai lokal dapat menjadi “tameung hate“ atau pelindung hati untuk membantu menyembuhkan dan memberdayakan individu yang mengalami perundungan,” terangnya.
Menurut Fadhillah, dalam istilah bahasa Aceh, tameung berarti tameng atau perlindungan, sedangkan hate berarti hati.
Pada ujung cerita, film tersebut menggambarkan bagaimana cinta, dukungan, dan kebersamaan berfungsi sebagai perlindungan bagi hati yang terluka akibat perundungan. Film tameung hate tidak hanya mencerminkan kekuatan emosional dan mental yang dibutuhkan untuk melawan bullying, tetapi juga memberikan nuansa kearifan lokal mendalam, menjadikannya relevan dan bermakna bagi penonton yang akrab dengan budaya Aceh.